KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU
BADUY”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Produktif.
Makalah disusun berdasarkan hasil observasi yang diharapkan berguna
untuk mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan tentang
kebudayaan.
Segala petunjuk, arahan dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima
dalam menyusun maklah ini sangatlah besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan
ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................
1
DAFTAR ISI
..................................................................................................
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latara Belakang .............................................................................................
3
1.2 Suku
Baduy....................................................................................................
3
1.3 Pembagian
Kelompok....................................................................................
3
1.3.1 Kelompok tangtu (baduy
dalam)............................................................... 3
1.3.2
Kelompok Masyarakat panamping (baduy luar).......................................
4
1.3.3 Kelompok Baduy Dangka
........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mata Penceharian....................................................................................
5
2.2 Hukum di dalam Masyarakat Baduy.....................................................
5
2.3 Segi
Berpakaian......................................................................................
7
2.4
Bahasa.....................................................................................................
8
2.5
Kepercayaan............................................................................................
9
2.6
Tarian......................................................................................................
10
2.7
Pernikahan..............................................................................................
11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...........................................................................................
6
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.
1.2 Suku Baduy
Provinsi Banten memiliki masyarakat
tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang
tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan
masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah
kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa
Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger
(jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar.
Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan
pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
1.3 Pembagian Kelompok
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka.
1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam).
suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum
masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh
kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
(Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana,
dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka
tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi
kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka
tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan
bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari
luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan
mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat
tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah
Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan
ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang
tumbuh di tepi sungai.
1.3.2 Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),
mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak
berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal
kebudayaan luar, seperti bersekolah.
1.3.3 Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mata
Penceharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari
hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin
diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat
yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy
dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di
lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat
kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari
kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun,
maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain
itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
2.2 Hukum di
didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk
pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang
termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut
antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat.
Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat
dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan
dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama
40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya
masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar
di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam
menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang
warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah
dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak
boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan
bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat
rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu. Menurut keterangan Bapak
Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan
masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota
masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena
sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika
memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti
halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga
mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga
yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang
terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
2.3 Segi
Berpakaian
Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana
yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan
panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak
pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya
adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh
dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli
yang ditenun.
Untuk bagian
bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya
dililitkan pada bagian pinggang. Agar
kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta pada
bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut
mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat
Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung
makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna
hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya
terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai.
Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg
ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari
warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun
Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan
dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna
biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya
dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya
harus tertutu. Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat
untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang
dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna
pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan
putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual
tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat
setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung,
kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja,
yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dalam hal ini masyarakat Baduy yang
merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam
masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau
Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy
Luar, yang tinggal luar daerah Baduy
Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan,
tingkah laku, cita-cita, termasuk busana
yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana,
perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy
Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat
nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan
luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar.
Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara
busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan
busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat
saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Bagi
masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu
membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Untuk pakaian bepergian, biasanya
wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman,
karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam
adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
2.4 Bahasa
Bahasa Baduy adalah
bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung, Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik,
bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa
Sunda, tapi dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Sunda,
yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa di cabang
Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena
pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan
pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga
hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk
mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka,
orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas
orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
2.5 Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut
dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme),
namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama
Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari
kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan
adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya
mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan
kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan
air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan
pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka
merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya
ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja
yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu
lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan
batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen
akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh
disambung)
Tabu tersebut
dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah
kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak
mengolah lahan dengan bajak, tidak
membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan
rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang
penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan
mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak
melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
2.6 Tarian
Tarian yang merupakan gambaran
dari kebiasaan Suku Badui dalam menyambut musim panen raya. Para penari
menarikan tariannya dengan sangat menjiwai. Ditambah dengan bau dupa yang
menyengat, menambah aura mistik dan sakral tarian yang mereka bawakan. Diawali
dengan seorang penabuh bedug, datanglah seorang penari wanita membawa sesaji,
kemudian ditaruh pada sebuah nampan besar. Setelah itu didoakan dan dibagikan
secara simbolik. Di daerah Baduy, Banten setiap kali musim panen raya akan diadakan
upacara Serentanen, yang merupakan upacara adat sakral di daerah tersebut.
Macapada merupakan adaptasi dari
upacara Serentanen suku Baduy, Banten.Dalam upacara tersebut suku Baduy luar akan
memberikan persembahan kepada suku Baduy Dalam. Persembahan tersebut nantinya
akan didoakan sesuai adat Baduy dan oleh Baduy Dalam nantinya akan di bawa ke
kota untuk diserahkan kepada pihak pemerintah. Sebagai perwakilan biasanya diterima
oleh Bupati setempat. Upacara Serentanen ini berasal dari suku Baduy asli.
2.7
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir
serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka
masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali
pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala
Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap
kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi
dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga,
mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan
untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin
langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam
ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka
hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah
meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar sedangkan Baduy
Dalam sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya
diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah
meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku baduy pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka
masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusizin pakai untuk tugas, makasih min
BalasHapusgeus nu pang madep na mimin
BalasHapusBolavita adalah agen judi online dengan berbagai game menarik.
BalasHapus- Casino online
- Bolatangkas
- Taruhan bola online / sportsbook
- Poker Online
- Tembak ikan
- Slot Game
- Togel online SGP / HK / KL
• Baccarat
• Dragon Tiger
• Roulette
• Sic Bo
• Niu-Niu
• Sakong
• Fan Tan
Untuk Proses Deposit dan withdraw cepat bisa melalui.
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Bonus Deposit + Cashback, Kunjungi Website Kami di bolavita club